Selasa, 09 Oktober 2012

Artikel Tentang Psikologi Lintas Budaya


Transmisi Budaya dan Biologis serta awal Perkembangan dan Pengasuhan

Transmisi Budaya
Transmisi budaya merupakan kegiatan pengiriman atau penyebaran pesan dari generasi yang satu ke generasi yang lain tentang sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah. Cultural transmission is the way a group of people or animals within a society or culture tend to learn and pass on new information.
Beberapa bentuk Transmisi Budaya :
1.      Enkulturasi adalah Proses penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya selama hidup seseorang individu dimulai dari institusi keluarga terutama tokoh ibu.  Individu berkembang dengan ketertarikan terhadap objek lain selain dirinya. Dengan pemahaman situasi yang ditanamkan orang-orang dewasa disekitarnya menurut kebudayaanya tempat individu tersebut tumbuh dewasa berkembangnya orientasi yang bersifat lebih bersifat ruang, waktu dan normatif.

Ruth Benedict berpendapat bahwa suatu kepribadian dianggap bersifat normal apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan , sedangkan tipe kepribadian yang sama jika sesuai dengan tipe kepribadian dominan akan dianggap 'abnormal'.

Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan dengan gen orang tua, teman-teman, lembaga sekolah, dan pemerintahan adalah guru utama di bidang kultur. Dan enkulturasi terjadi melaui mereka.
Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah budaya itu dinamis dan merupakan hasil proses belajar. sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Nah, proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam masyarakat itu dinamakan Enkulturasi.
Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu bergerak dinamis mengikuti perkembangan jaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal hal baru dalam masyarakat sulit mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi untuk disebut sebagai akulturasi.
Dalam hal ini yang menjadi kata kunci adalah pemrograman kolektif yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang segera setelah ia dilahirkan ke dunia. Semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku, dan berkomunikasi.


2.      Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Sosialisasi menurut beberapa ahli :
Soerjono Soekanto
Sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota.
Charlotte Buhler
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Peter Berger
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya. Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.

3.      Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Contoh akulturasi: Saat budaya rap dari negara asing digabungkan dengan bahasa Jawa, sehingga menge-rap dengan menggunakan bahasa Jawa. Ini terjadi di acara Simfoni Semesta Raya.

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur diperbaiki dan dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur yang lain. Sebagai contoh, apabila ada sekelompok imigran yang kemudian menetap di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), maka kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur Tuan rumah ini. Lama kelamaan, nilai, dan cara berperilaku serta kepercayaan dari kultur tuan rumah ini akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.

Pengaruh Transmisi Budaya terhadap Perkembangan Psikologi Individu
1.     Pengaruh Enkulturasi terhadap Perkembangan Psikologi Individu
Enkulturasi mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui proses belajar dan penyesuaian alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan.

2.      Pengaruh Sosialisasi terhadap Perkembangan Psikologi Individu
Sosialisasi mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui proses pemasyarakatan, yaitu seluruh proses apabila seorang individu dari masa kanak-kanak sampai dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal, dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam masyarakat.

3.      Pengaruh Akulturasi terhadap Perkembangan Psikologi Individu
Akulturasi mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kesamaan dan Perbedaan Antar budaya dalam Hal Transmisi Budaya melalui awal masa perkembangan dan pola kelekatan (attachment) pada ibu atau pengasuh

Awal Perkembangan dan Pengasuhan Transmisi budaya dapat terjadi sesuai dengan awal pengembangan dan pengasuhan yang terjadi pada masing-masing individu. Dimana proses seperti enkulturasi, sosialisasi ataupun akulturasi yang mempengaruhi perkembangan psikologis individu tergantung bagaimana individu mendapat pengasuhan dan bagaimana lingkungan yang diterimanya.


Kelekatan
Kelekatan atau attachment adalah ikatan khusus yang berkembang antara bayi dan pengasuhnya. Studi tentang kelekatan pada monyet-monyet rhesus oleh pasangan Harlow (Harlow & Harlow, 1969) menunjukkan pentingnya sentuhan dan kenyamanan fisik dalam perkembangan kelekatan. Bowlby (1969) menyimpulkan bahwa bayi memiliki dasar biologis yang sudah terprogram sebelumnya untuk menjadi lekat pada pengaruhnya. Program ini mencakup perilaku-perilaku seperti tersenyum dan tertawa yang nantinya memicu perilaku-perilaku yang mendorong terbentuknya kelekatan dari pihak ibu.

Ainworth, Blehar, Waters, dan Wall (1978) membedakan tiga gaya kelekatan: aman (secure) yaitu pada bayi yang mempunyai ibu yang hangat dan responsif, menghindar (avoidant) yaitu pada bayi yang mempunyai ibu instrusif (terlalu mencampuri) dan terlalu menstimulasi, dan ambivalen yaitu bayi yang merespon ibu mereka secara tidak pasti berubah-ubah dari mencari dan menolak perhatian ibu ini biasanya terjadi pada bayi yang memiliki ibu tidak sensitif dan kurang terlibat dengan anaknya.
Kelekatan ini mendasari konsep kepercayaan dasar (basic trust). Erikson (1963) menggambarkan formasi kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama dalam proses perkembangan psikososial yang berlangsung seumur hidup. Kelekatan yang buruk adalah komponen dari ketidakpercayaan (miss trust) – kegagalan menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan tahap perkembangan bayi.

Salah satu asumsi orang Amerika tentang sifat kelekatan adalah bahwa kelekatan ideal adalah kelekatan aman. Tapi pada kenyataannya masing budaya punya konsep kelekatan yang ideal yang berbeda. Misalnya ibu-ibu di Jerman menganggap penting dan mendorong kemandirian lebih dini dan karena itu menganggap kelekatan menghindar sebagai yang lebih ideal. Orang tua Jerman memandang anak-anak yang lekat secara aman sebagai anak yang dimanja (Grossmann, Grossmann, Spangler, Suess, & Unzner, 1985). Dianatara anak-anak Istrael yang dibesarkan di kibbutz (tanah pertanian kolektif) separuhnya menunjukkan kelekatan ambivalen yang cemas dan hanya sepertiga yang tampaknya lekat secara aman (Sagi, dkk.,1985). Anak-anak yang dibesarkan dikeluarga Jepang trdisional juga dicirikan oleh tingginya kelekatan ambivalen yang cemas, tanpa adanya kelekatan menghindar (Miyake, Chen, & Campos, 1985). Ibu-ibu tradisional ini jarang meninggalkan anak-anak mereka dan mendorong terbentuknya rasa ketergantungan yang tinggi pada anak-anak mereka. Hal ini mendukung loyalitas keluarga yang secara kultural dipandang ideal. Di keluarga-keluarga Jepang non-tradisional dimana para ibu mungkin memiliki karir, pola kelekatan yang ditemui mirip dengan yang ada di Amerika Serikat.
Beberapa penelitian lintas budaya juga menantang pemahaman bahwa kedekatan dengan ibu merupakan syarat untuk terbentuknya kelekatan yang aman dan sehat hal ini diperkuat dengan teori-teori tradisional Amerika. Tapi tidak demikian dengan sebuah suku perambah hutan di Afrika yang dikenal sebagai suku Efe yang menunjukkan sebuah situasi yang amat berbeda dengan apa yang diterima para ahli psikologis sebagai bagian dari kelekatan yang sehat (Tronick, Morelli, Ivey, 1992). Bayi-bayi efe menghabiskan banyak waktu tidak berada dekat dengan ibu dan diasuh oleh beberapa orang. Mereka selalu berada dalam jangkauan pendengaran dan penglihatan sekitar sepuluh orang. Mereka punya ikatan emosional yang dekat dengan banyak orang lain selain ibunya dan menghabiskan hanya sedikit waktu dengan ayahnya. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak ini sehat secara emosi meski memiliki banyak pengasuh. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam setiap kebudayaan dalam hal kelekatan anak dengan pengasuhnya.
Pengasuhan orang tua, keluarga, dan sosialisasi pengetahuan tradisional.
Baumrind (1971) mengidentifikasikan tiga pola utama pengasuhan orang tua, yaitu orang tua yang otoriter mengharap kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk dikontrol. Sebaliknya, orang tua yang permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dan menyediakan hanya sedikit panduan baku. Orang tua yang otoritatif bersifat tegas, adil dan logis, gaya pengasuhan ini dipandang akan membentuk anak-anak yang sehat secara psikologis, kompeten, dan mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi sosial. Peneliti lain (Maccoby & Martin, 1983) menemukan gaya asuh keempat yang disebut “tak terlibat” atau “uninvolved”. Orang tua yang tak terlibat seringkali terlalu larut dalam kehidupan mereka sendiri untuk bisa memberi respon yang tepat pada anak-anak mereka seiring terlihat tak peduli.
Selain dalam keluarga ada lingkungan lain yang akan sangat erat dan dekat dengan anak yaitu sekolah. Disekolah, sebagian besar hidup anak dihabiskan tidak dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang didasarkanpada hubungan primer dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam situasi bermain disekolah. Sosialisasi adalah proses instrumental dengan mana anak menginternalisasikan nilai-nilai dan sikap-sikap kultural.
Kondisi lingkungan ekonomi merupakan salah satu hal mempengaruhi pola pengasuhan selain itu kondisi-kondisi disetiap budaya-budaya yangt berbeda-beda akan menghasilkan proses sosialisasi yang berbeda pula dan bukan hanya itu saja keyakinan budaya setempat juga akan mempengaruhi pola pengasuhan anak. Seorang ibu di Brazil yang hidup di permukiman kumuh yang disiang hari meninggalkan tiga balitanya dalam ruangan gelap untuk mencari makan dan pakaian, mungkin ini terlihat kejam dari suddut pandang kita. Akan tetapi tidalah bijak jika memandang hal tersebut dengan parameter budaya kita sendiri. Di Cina ada praktik dimana bayi-bayi yang masih berusia beberapa minggu tinggal ibunya untuk pergi berladang dalam jangka waktu yang cukup lama. Bayi-bayi tersebut dibaringkan di sak-sak pasir yang lebar dan menyokong tubuh mereka sekaligus bertindak sebagai popok penyerap. Tak butuh waktu yang lama untuk byi berhenti menangis karena menyadari bahwa tindakannya itu tidak menghasilkan respon apa-apa.
Levine (1977) mengajukan teori tentang lingkungan pengasuhan merupakan pencerminan dari seperangkat tujuan yang tersusun berdasarkan urutan nilai pentingnya. Yang pertama adalah kesehatan fisik dan pertahanan hidup (survival),  selanjutnya adalah perilaku-perilaku yang mengarah pada pemenuhan diri dan yang terakhir adalah perilaku-perilaku yang mendukung nilai-nilai kultural lain seperti moralitas dan prestise.
Pengasuhan anak dalam struktur keluarga extended (keluarga besar) maka selain lingkungan umum maka lingkungan tempat pengasuhan, serta struktur keluarga akan mempunyai dampak yang besar pada pengasuhan dan perawatan anak. Di Amerika tahun 1984 31% anak Afrika-Amerika tinggak dalam keluarga extended dan hanya 19,8%  saja dari latar belakang ras lain yang hidup dalam keluarga demikan. Di Amerika Serikat, keluarga-keluarga dari etnis minoritas digambarkan lebih luas atau extended dan lebih konservetif dibanding keluarga Kaukasia-Amerika. Misalnya keluarga Jepang-Amerika tergolong keluarga extended atau luas dengan peran-peran usia dan jenis kelamin yang tegas, dan menekankan pada kepatuhan anak pada figur-figur otoritatif (Trankina, 1983; Yamamoto & Kubota, 1983)
Meski ibu dipandang sebagai pengasuh utama, dalam situasi extended anak sering berinteraksi dengan kakek-nenek, orang tua angkat (godparent), saudara kandung dan sepupunya. Bagi keluarga Hispanik Filipina godparent dianggap sebagai model yang penting, mereka juga sumber dukungan bagi orang tua. Di Amerika hal seperti ini lebih dianggap sebagai konsekuensi dari kondisi ekonomi yang buruk, bukan sebagai cara pengaturan yang diinginkan. Dari banyak anak-anak yang terlahir dari single mother atau ibu tunggal, disini keluarga extenden berperan besar dalam pengasuhannya.
Menjadi orang tua saat masih remaja juga memaksa kita untuk berpikir secara berbeda tentang konsep tradisional tentang orang tua. Kehadiran nenek kandung dalam keluarga seperti itu dapat menghilangkan dampak-dampak negatif yang dikaitkan dengan pengasuhan oleh ibu remaja (Garcia Coll, 1990). Selain itu nenek merupakan sumber informasi pengalaman dalam pmengurus anak.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar