Transmisi Budaya dan Biologis serta awal Perkembangan dan
Pengasuhan
Transmisi
Budaya

Beberapa bentuk Transmisi Budaya :
1.
Enkulturasi adalah Proses
penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya selama
hidup seseorang individu dimulai dari institusi keluarga terutama tokoh ibu. Individu
berkembang dengan ketertarikan terhadap objek lain selain dirinya. Dengan
pemahaman situasi yang ditanamkan orang-orang dewasa disekitarnya menurut
kebudayaanya tempat individu tersebut tumbuh dewasa berkembangnya
orientasi yang bersifat lebih bersifat ruang, waktu
dan normatif.
Ruth
Benedict berpendapat bahwa suatu kepribadian dianggap bersifat normal apabila
sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan , sedangkan tipe kepribadian yang
sama jika sesuai dengan tipe kepribadian dominan akan dianggap 'abnormal'.
Enkulturasi
mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari generasi satu ke
generasi selanjutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Kultur
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan dengan gen orang tua, teman-teman,
lembaga sekolah, dan pemerintahan adalah guru utama di bidang kultur. Dan
enkulturasi terjadi melaui mereka.
Agar
budaya terus berkembang, proses adaptasi perlu dilakukan. Paradigma yang
berkembang adalah budaya itu dinamis dan merupakan hasil proses belajar.
sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Nah, proses
belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam masyarakat itu dinamakan
Enkulturasi.
Enkulturasi
menyebabkan budaya masyarakat tertentu bergerak dinamis mengikuti perkembangan
jaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal hal baru
dalam masyarakat sulit mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi
untuk disebut sebagai akulturasi.
Dalam
hal ini yang menjadi kata kunci adalah pemrograman kolektif yang menggambarkan
suatu proses yang mengikat setiap orang segera setelah ia dilahirkan ke dunia.
Semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang serupa tentang bagaimana
seseorang berpikir, berperilaku, dan berkomunikasi.
2.
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer
kebiasaan atau nilai dan
aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau
masyarakat. Sejumlah sosiolog
menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role
theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus
dijalankan oleh individu. Sosialisasi menurut beberapa ahli :
Soerjono Soekanto
Sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru
mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota.
Charlotte Buhler
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
Peter Berger
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya. Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya. Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
3.
Akulturasi
adalah suatu proses sosial
yang timbul manakala suatu kelompok manusia
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Contoh akulturasi: Saat budaya rap
dari negara asing digabungkan dengan bahasa Jawa, sehingga menge-rap
dengan menggunakan bahasa Jawa. Ini terjadi di acara Simfoni Semesta Raya.
Akulturasi mengacu pada proses
dimana kultur diperbaiki dan dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung
dengan kultur yang lain. Sebagai contoh, apabila ada sekelompok imigran yang
kemudian menetap di Amerika
Serikat (kultur tuan
rumah), maka kultur mereka sendiri akan dipengaruhi
oleh kultur Tuan rumah ini. Lama kelamaan, nilai, dan cara berperilaku serta
kepercayaan dari kultur tuan rumah ini akan menjadi bagian dari kultur kelompok
imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.
Pengaruh Transmisi Budaya terhadap Perkembangan Psikologi Individu
1. Pengaruh
Enkulturasi terhadap Perkembangan Psikologi Individu
Enkulturasi
mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui proses belajar dan
penyesuaian alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan.
2.
Pengaruh
Sosialisasi terhadap Perkembangan Psikologi
Individu
Sosialisasi
mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui proses pemasyarakatan,
yaitu seluruh proses apabila seorang individu dari masa kanak-kanak sampai
dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal, dan menyesuaikan diri dengan
individu-individu lain dalam masyarakat.
3.
Pengaruh Akulturasi terhadap Perkembangan Psikologi
Individu
Akulturasi
mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui suatu proses sosial yang
timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kesamaan dan Perbedaan Antar
budaya dalam Hal Transmisi Budaya melalui awal masa perkembangan dan pola
kelekatan (attachment) pada ibu atau pengasuh
Awal
Perkembangan dan Pengasuhan Transmisi budaya dapat terjadi sesuai dengan awal
pengembangan dan pengasuhan yang terjadi pada masing-masing individu. Dimana
proses seperti enkulturasi, sosialisasi ataupun akulturasi yang mempengaruhi
perkembangan psikologis individu tergantung bagaimana individu mendapat
pengasuhan dan bagaimana lingkungan yang diterimanya.
Kelekatan
Kelekatan atau attachment adalah ikatan khusus yang berkembang antara
bayi dan pengasuhnya. Studi tentang kelekatan pada monyet-monyet rhesus oleh
pasangan Harlow (Harlow & Harlow, 1969) menunjukkan pentingnya sentuhan dan
kenyamanan fisik dalam perkembangan kelekatan. Bowlby (1969) menyimpulkan bahwa
bayi memiliki dasar biologis yang sudah terprogram sebelumnya untuk menjadi
lekat pada pengaruhnya. Program ini mencakup perilaku-perilaku seperti
tersenyum dan tertawa yang nantinya memicu perilaku-perilaku yang mendorong
terbentuknya kelekatan dari pihak ibu.
Ainworth, Blehar, Waters, dan Wall (1978) membedakan tiga gaya
kelekatan: aman (secure) yaitu pada bayi yang mempunyai ibu yang hangat
dan responsif, menghindar (avoidant) yaitu pada bayi yang mempunyai ibu instrusif
(terlalu mencampuri) dan terlalu menstimulasi, dan ambivalen yaitu bayi yang
merespon ibu mereka secara tidak pasti berubah-ubah dari mencari dan menolak
perhatian ibu ini biasanya terjadi pada bayi yang memiliki ibu tidak sensitif
dan kurang terlibat dengan anaknya.
Kelekatan ini mendasari
konsep kepercayaan dasar (basic trust). Erikson (1963) menggambarkan formasi
kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama dalam proses perkembangan
psikososial yang berlangsung seumur hidup. Kelekatan yang buruk adalah komponen
dari ketidakpercayaan (miss trust) – kegagalan menyelesaikan
kebutuhan-kebutuhan tahap perkembangan bayi.
Salah satu asumsi orang Amerika
tentang sifat kelekatan adalah bahwa kelekatan ideal adalah kelekatan aman.
Tapi pada kenyataannya masing budaya punya konsep kelekatan yang ideal yang
berbeda. Misalnya ibu-ibu di Jerman menganggap penting dan mendorong
kemandirian lebih dini dan karena itu menganggap kelekatan menghindar sebagai
yang lebih ideal. Orang tua Jerman memandang anak-anak yang lekat secara aman
sebagai anak yang dimanja (Grossmann, Grossmann, Spangler, Suess, & Unzner,
1985). Dianatara anak-anak Istrael yang dibesarkan di kibbutz (tanah pertanian
kolektif) separuhnya menunjukkan kelekatan ambivalen yang cemas dan hanya
sepertiga yang tampaknya lekat secara aman (Sagi, dkk.,1985). Anak-anak yang
dibesarkan dikeluarga Jepang trdisional juga dicirikan oleh tingginya kelekatan
ambivalen yang cemas, tanpa adanya kelekatan menghindar (Miyake, Chen, &
Campos, 1985). Ibu-ibu tradisional ini jarang meninggalkan anak-anak mereka dan
mendorong terbentuknya rasa ketergantungan yang tinggi pada anak-anak mereka.
Hal ini mendukung loyalitas keluarga yang secara kultural dipandang ideal. Di
keluarga-keluarga Jepang non-tradisional dimana para ibu mungkin memiliki
karir, pola kelekatan yang ditemui mirip dengan yang ada di Amerika Serikat.
Beberapa penelitian lintas budaya juga menantang pemahaman
bahwa kedekatan dengan ibu merupakan syarat untuk terbentuknya kelekatan yang
aman dan sehat hal ini diperkuat dengan teori-teori tradisional Amerika. Tapi
tidak demikian dengan sebuah suku perambah hutan di Afrika yang dikenal sebagai
suku Efe yang menunjukkan sebuah situasi yang amat berbeda dengan apa yang
diterima para ahli psikologis sebagai bagian dari kelekatan yang sehat (Tronick,
Morelli, Ivey, 1992). Bayi-bayi efe menghabiskan banyak waktu tidak berada
dekat dengan ibu dan diasuh oleh beberapa orang. Mereka selalu berada dalam
jangkauan pendengaran dan penglihatan sekitar sepuluh orang. Mereka punya
ikatan emosional yang dekat dengan banyak orang lain selain ibunya dan
menghabiskan hanya sedikit waktu dengan ayahnya. Para peneliti menemukan bahwa
anak-anak ini sehat secara emosi meski memiliki banyak pengasuh. Hal ini
menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam setiap kebudayaan dalam hal kelekatan
anak dengan pengasuhnya.
Pengasuhan orang tua, keluarga,
dan sosialisasi pengetahuan tradisional.
Baumrind (1971) mengidentifikasikan tiga pola utama pengasuhan
orang tua, yaitu orang tua yang otoriter mengharap kepatuhan mutlak dan melihat
bahwa anak butuh untuk dikontrol. Sebaliknya, orang tua yang permisif
membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dan menyediakan hanya
sedikit panduan baku. Orang tua yang otoritatif bersifat tegas, adil dan logis,
gaya pengasuhan ini dipandang akan membentuk anak-anak yang sehat secara
psikologis, kompeten, dan mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman
menghadapi situasi-situasi sosial. Peneliti lain (Maccoby & Martin, 1983)
menemukan gaya asuh keempat yang disebut “tak terlibat” atau “uninvolved”.
Orang tua yang tak terlibat seringkali terlalu larut dalam kehidupan mereka
sendiri untuk bisa memberi respon yang tepat pada anak-anak mereka seiring
terlihat tak peduli.
Selain dalam keluarga ada lingkungan lain yang akan sangat
erat dan dekat dengan anak yaitu sekolah. Disekolah, sebagian besar hidup anak
dihabiskan tidak dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang
didasarkanpada hubungan primer dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya
dalam situasi bermain disekolah. Sosialisasi adalah proses instrumental dengan
mana anak menginternalisasikan nilai-nilai dan sikap-sikap kultural.
Kondisi lingkungan ekonomi merupakan salah satu hal
mempengaruhi pola pengasuhan selain itu kondisi-kondisi disetiap budaya-budaya
yangt berbeda-beda akan menghasilkan proses sosialisasi yang berbeda pula dan
bukan hanya itu saja keyakinan budaya setempat juga akan mempengaruhi pola
pengasuhan anak. Seorang ibu di Brazil yang hidup di permukiman kumuh yang
disiang hari meninggalkan tiga balitanya dalam ruangan gelap untuk mencari
makan dan pakaian, mungkin ini terlihat kejam dari suddut pandang kita. Akan
tetapi tidalah bijak jika memandang hal tersebut dengan parameter budaya kita
sendiri. Di Cina ada praktik dimana bayi-bayi yang masih berusia beberapa
minggu tinggal ibunya untuk pergi berladang dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bayi-bayi tersebut dibaringkan di sak-sak pasir yang lebar dan menyokong tubuh
mereka sekaligus bertindak sebagai popok penyerap. Tak butuh waktu yang lama
untuk byi berhenti menangis karena menyadari bahwa tindakannya itu tidak
menghasilkan respon apa-apa.
Levine (1977) mengajukan teori tentang lingkungan pengasuhan
merupakan pencerminan dari seperangkat tujuan yang tersusun berdasarkan urutan
nilai pentingnya. Yang pertama adalah kesehatan fisik dan pertahanan hidup
(survival), selanjutnya adalah perilaku-perilaku yang mengarah pada
pemenuhan diri dan yang terakhir adalah perilaku-perilaku yang mendukung
nilai-nilai kultural lain seperti moralitas dan prestise.
Pengasuhan anak dalam struktur keluarga extended (keluarga
besar) maka selain lingkungan umum maka lingkungan tempat pengasuhan, serta
struktur keluarga akan mempunyai dampak yang besar pada pengasuhan dan
perawatan anak. Di Amerika tahun 1984 31% anak Afrika-Amerika tinggak dalam keluarga
extended dan hanya 19,8% saja dari latar belakang ras lain yang hidup
dalam keluarga demikan. Di Amerika Serikat, keluarga-keluarga dari etnis
minoritas digambarkan lebih luas atau extended dan lebih konservetif dibanding
keluarga Kaukasia-Amerika. Misalnya keluarga Jepang-Amerika tergolong keluarga
extended atau luas dengan peran-peran usia dan jenis kelamin yang tegas, dan
menekankan pada kepatuhan anak pada figur-figur otoritatif (Trankina, 1983;
Yamamoto & Kubota, 1983)
Meski ibu dipandang sebagai
pengasuh utama, dalam situasi extended anak sering berinteraksi dengan
kakek-nenek, orang tua angkat (godparent), saudara kandung dan sepupunya. Bagi
keluarga Hispanik Filipina godparent dianggap sebagai model yang penting,
mereka juga sumber dukungan bagi orang tua. Di Amerika hal seperti ini lebih
dianggap sebagai konsekuensi dari kondisi ekonomi yang buruk, bukan sebagai
cara pengaturan yang diinginkan. Dari banyak anak-anak yang terlahir dari
single mother atau ibu tunggal, disini keluarga extenden berperan besar dalam
pengasuhannya.
Menjadi orang tua saat masih remaja juga memaksa kita untuk
berpikir secara berbeda tentang konsep tradisional tentang orang tua. Kehadiran
nenek kandung dalam keluarga seperti itu dapat menghilangkan dampak-dampak
negatif yang dikaitkan dengan pengasuhan oleh ibu remaja (Garcia Coll, 1990).
Selain itu nenek merupakan sumber informasi pengalaman dalam pmengurus anak.
Sumber :